Condong Leleh, Salah Satu Cara Untuk Mengetahui Perkiraan Periode Keris?

Jika pamor keris sementara ini masih sering di generalisir sebagai identik dengan karakteristik pedang Damascus dan disebut sebagai “Damascus patterns”, maka merujuk definisi UNESCO yang jadi ciri karakteristik keris ialah bentuknya keris yang asimetris. Bentuk yang notabene asimetris adalah kata kunci dari keberadaan keris.
Dalam bahasa Jawa disebut “condong leleh”, yaitu derajat kemiringan sebuah bilah keris jika dilihat dari garis horisontal bilah bawah yang berbatasan dengan gonjo.
Derajat kemiringan tertentu yang membuat keris menjadi berbentuk belati yang asimetris inilah ciri karakteristik (distinctive) yang dimiliki senjata tradisional khas Indonesia dan notabene tidak bakalan ditemukan pada senjata-senjata tradisional milik bangsa-bangsa lain.
Condong Leleh (dalam derajat°)
sebuah keris jika dilihat dari garis horisontal bilah bawah yang berbatasan dengan gonjo, dan ternyata condong leleh ini merupakan suatu ciri tangguh tertentu, dan juga menggambarkan sifat Pusaka. Sehingga bisa digunakan sebagai salah satu alat bantu dalam penengguhan sebuah keris, memahami sifat pusaka. 
Berdasarkan data selama ini yang ada, kecenderungan condong leleh adalah sebagai berikut:
1. 84°: Pajajaran, Sumatra;
2. 82°: HB, Paku Alam, Mataram Hindu;
3. 80°: Budha Jawa Timur, Majapahit, Surakarta, Kediri, Mataram, Demak, Pajang, Pengging;
4. 78°: Tuban Sepuh sebelum era mojopahit;
5. 76°: Segaluh;
Akan tetapi ada juga pendapat ahli bahwa tidak sepenuhnya menentukan periode keris.  Golongan ini menambahkan bahwa 'condong leleh', murni terkandung harapan didalam nya. Terdapat makna yang syarat tentang pegangan hidup.
Condong Leleh bila ditinjau dari penggambaran sifat Pusaka terbagi menjadi 4 Sifat / Watak, yaitu :
1. Watak Surya / Matahari (Hambeging Surya), Keris Cenderung tegak;
Matahari bersifat menerangi. Seseorang yang berwatak matahari akan selalu menjadi penerang di antara sesama sebagaimana watak Bathara Surya. Mampu menyirnakan segala kegelapan dalam kehidupan. Kapanpun dan di manapun ia akan selalu memberikan pencerahan kepada orang lain. 
Matahari juga menghidupi segala makhluk hidup baik tumbuhan, hewan dan manusia. Manfaat matahari menjadi penghangat suhu agar tidak terjadi kemusnahan massal di muka bumi akbiat kegelapan dan kedinginan. 
Seseorang yang berwatak Matahari, ia menjadi sumber pencerahan bagi kehidupan manusia, serta mampu berperan sebagai penuntun, guru, pelindung sekaligus menjalankan dinamika kehidupan manusia ke arah kemajuan peradaban yang lebih baik. Sikap dan prinsip hidup orang yang berwatak matahari, ia akan konsisten, teguh dalam memegang amanat, ora kagetan (tidak mudah terkaget-kaget), ora gumunan (tidak gampang heran akan hal-hal baru dan asing).
Seseorang watak matahari ibarat perjalanan matahari yang berjalan pelan dalam arti, hati-hati tidak terburu-buru (kemrungsung), langkah yang pasti dan konsisten pada orbit yang telah dikodratkan Tuhan (istikomah). 
Lakuning srengenge, seseorang harus teguh dalam menjaga tanggungjawabnya kepada sesama. Tanggungjawabnya sebagai titah (khalifah) Tuhan, yakni menetapkan segala perbuatan dan tingkah laku diri ke dalam “sifat” Tuhan. 
Tuhan Maha Mengetahui; maka kita sebagai titah Tuhan hendaknya terus-menerus berusaha mencari ilmu pengetahuan yang seluas-luasnya dan setinggi-tingginya agar ilmu tersebut bermanfaat untuk kemajuan pradaban manusia, menciptakan kebaikan-kebaikan yang konstruktif untuk kemaslahatan semua.
2. Watak Kartika (Hambeg Kartika), Agak Condong;
Kartika atau bintang berwatak selalu mapan dan tangguh, walaupun dihempas angin prahara (sindhung riwut) namun tetap teguh dan tidak terombang-ambing. Sebagaimana watak Bathara Ismaya, dalam menghadapi persoalan-persoalan besar tidak akan mundur selangkahpun bagaikan langkahnya Pendawa Lima. Sifat Bethara Ismaya adalah tertata, teratur, dan tertib. Mampu menghibur yang lagi sedih, dan menuntun orang yang sedang mengalami kebingungan, serta menjadi penerang di antara kegelapan. 
Seseorang yang mengadopsi perilaku bintang, akan memiliki cita-cita, harapan dan target yang tinggi untuk kemakmuran dan kesejahteraan tidak hanya untuk diri sendiri namun juga orang banyak. 
Maka sebutan sebagai “bintang” selalu dikiaskan dengan suatu pencapaian prestasi yang tinggi. Posisi bintang akan memperindah kegelapan langit di malam hari. 
Orang yang berwatak bagai bintang akan selalu menunjukkan kualitas dirinya dalam menghadapi berbagai macam persoalan kehidupan.
3. Watak Candra / Rembulan (hambeg Candra), Lebih Condong;
Candra atau rembulan, berwatak memberikan penerang kepada siapapun yang sedang mengalami kegelapan budi, serta memberikan suasana tenteram pada sesama. 
Rembulan membuat terang tanpa membuat “panas” suasana (dapat ikannya, tanpa membuat keruh airnya). 
Langkah rembulan selalu membuat sejuk suasana pergaulan dan tidak merasa diburu-buru oleh keinginannya sendiri (rahsaning karep). 
Watak rembulan menggambarkan nuansa keindahan spiritual yang mendalam. Selalu eling dan waspadha, selalu mengarahkan perhatian batinnya senantiasa berpegang pada harmonisasi dan keselarasan terhadap hukum alam (arab; kehendak ilahi/musyahadah). 
Lakuning rembulan, seseorang mampu “nggayuh kawicaksananing Gusti” artinya mampu memahami apa yang menjadi kehendak (kebijaksanaan) Sang Jagadnata. 
Setelah memahami, lalu kita ikuti kehendak Tuhan menjadi sebuah “laku tapa ngeli” artinya kita hanyutkan diri pada kehendak Ilahi. Witing klapa salugune wong Jawa, dhasar nyata laku kang prasaja.
Orang yang berwatak rembulan, selalu mengagumi keindahan ciptaan Tuhan yang tampak dalam berbagai “bahasa” alam sebagai pertanda kebesaran Tuhan. Bulan purnama menjadi bahasa kebesaran Tuhan yang indah sekali. 
Orang-orang tua dan anak-anak zaman dahulu selalu bersuka ria saat merayakan malam bulan purnama. Karena menyaksikan keindahan malam bulan purnama, bagai membaca “ayat-ayat” Tuhan, mampu menggugah kesadaran batin dan akal-budi manusia akan keagungan Tuhan. 
Sayang sekali kebiasaan itu sudah dianggap kuno, kalah dengan hiburan zaman modern yang kaya akan tawaran-tawaran hedonis. Bahkan secara agama, kebiasaan merayakan “padhang mbulan“ oleh orang-orang tertentu dianggap sebagai tradisi yang sia-sia karena tidak menimbulkan pahala. 
Padahal bulan purnama memiliki khasiat lain sebagai media terapi lahir dan batin di saat terjadi berbagai kegelisahan jiwa. Sinar bulan purnama sangat baik untuk mengobati segala macam penyakit dengan cara menjemur diri di bawah sinar bulan purnama. 
Apalagi disertai dengan semedi sebagai wahana olah raga dan olah rasa. Itulah mengapa leluhur kita zaman dahulu melakukan semadi pada saat datangnya bulan purnama.
4. Watak Bantala / Bumi (Hambeging Kisma), Condong sekali;
Digambarkan watak Bethara Wisnu sebagai karakter bumi yang memiliki sifat kaya akan segalanya dan suka berderma. Pemimpin yang mengikuti sifat bumi adalah seseorang yang memiliki sifat kaya hati. 
Dalam terminologi Jawa kaya hati disebut sabardrono, ati jembar, legawa dan lembah manah. Rela menghidupi dan menjadi sumber penghidupan seluruh makhluk hidup. 
Bumi secara alamiah juga berwatak melayani segala yang hidup. Bumi dengan unsur tanahnya bersifat dingin tidak kagetan dan gumunan, sebaliknya bersifat luwes (fleksibel) mudah adaptasi dengan segala macam situasi dan kondisi tanpa harus merubah unsur-unsur tanahnya. 
Maknanya, sekalipun seseorang bersifat mudah adaptasi atau fleksibel namun tidak mudah dihasut, tak mempan diprovokasi, karena berbekal ketenangan pikir, kebersihan hati, dan kejernihan batinnya dalam menghadapi berbagai macam persoalan dan perubahan. Bumi juga selalu menempatkan diri berada di bawah menjadi alas pijakan seluruh makhluk. 
Artinya seseorang yang bersifat bumi akan bersifat rendah hati, namun mampu menjadi tumpuan dan harapan orang banyak. Sifat tanah berlawanan dengan sifat negatif api. 
Maka tanahlah yang memiliki kemampuan efektif memadamkan api. Api atau nar, merupakan ke-aku-an yang sejatinya adalah “iblis” yakni tiada lain nafsu negatif dalam diri manusia. 
Seseorang yang bersifat bumi atau tanah, tidak akan lepas kendali mengikuti jejak nafsu negatif.
Bumi dalam hukum adi kodrati memiliki prinsip keseimbangan dan pola-pola hubungan yang harmonis dan sinergis dengan kekuatan manapun. Namun demikian, pada saat tertentu bumi dapat berubah karakter menjadi tegas, lugas dan berwibawa. Bumi dapat melibas kekuatan apapun yang bertentangan dengan hukum-hukum keseimbangan alam. 
Seseorang yang memiliki watak bumi, dapat juga bersikap sangat tegas, dan mampu menunjukkan kewibawaannya di hadapan para musuh dan lawan-lawannya yang akan mencelakai dirinya. Akan tetapi, bumi tidak pernah melakukan tindakan indisipliner yang bersifat aksioner dan sepihak. Karena ketegasan bumi sebagai bentuk akibat (reaksi) atas segala perilaku disharmoni.



-------------------------------------------------------------
ditulis&disadur 
oleh: Bhre Polo
sumber:

Komentar

Postingan Populer