Pamor Rojogundolo

Identifikasi;
Pamor Rojogundolo, ada beberapa orang yang juga menyebut pamor Gundolorojo. Pamor ini bisa juga terdapat di tombak atau pedang. 
Umumnya, pamor ini terletak ditengah sor-soran, namun adakalanya terletak agak ketengah bilah keris. 
Bentuknya mirip gambar mahluk yang menakutkan, kadang seperti perempuan kadang seperti laki-laki atau bisa juga hewan. 
Pamor ini dalam proses pembuatan nya, bisa dikatakan pamor tiban, karena tiba-tiba muncul saat pembuatan dan dianggap sebagai'wahyu'. Selain itu bisa juga dianggap dengan proses Pamor rekaan, karena telah direncanakan sebelumnya, biasanya dibentuk sebagai 'rajah'.
Pamor Rojogundolo tergolong pamor yang tidak pemilih, sehingga bisa cocok dengan siapa saja.
Deskripsi dan Pemaknaan;
Secara pengertian, kata 'Gundala' atau 'Gundolo', dalam bahasa Jawa berarti "Petir". Jadi secara harfiah pengertian 'Rojogundolo' adalah 'Raja Petir'.
Akan tetapi dalam bahasa sansekerta, kata "Gundhala" berarti "cincin" atau "anting", atau secara pemaknaan bisa dikatakan pula sebagai perhiasan. 
Di Indonesia, ada dua cerita yang berkaitan dengan kata 'Gundala', yaitu cerita tentang 'Gundala Putra Petir' dan tarian pemanggil hujan dari Tanah Karo, Sumatera Utara yang bernama tarian 'Gundala-gundala'.
'Gundala Putra Petir' dirilis perdana pada tahun 1969. Karakter Gundala diciptakan oleh Harya Suraminata (Hasmi). Mengadaptasi perkembangan komik asing, Hasmi membuat 'Gundala' dengan kearifan lokal. Kisah Gundala tak melulu terpengaruh komik luar. 
Hasmi terinspirasi dari tokoh legenda Jawa, Ki Ageng Selo, yang konon merupakan guru dari Sultan Adiwijaya (1549-1582 M), kerajaan Pajang.
Dalam legendanya, Ki Ageng Selo merupakan sosok sakti, yang mampu menangkap petir dengan tangannya. 
Konon, Salah satu peninggalan Ki Ageng Selo adalah ukiran naga di pintu masjid Agung Demak, yang biasa disebut 'Lawang Bledeg'. Peninggalan ini merupakan prasasti “Condro Sengkolo” yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, bermakna tahun 1388 Syaka atau 1466 M, atau 887 H.
Ornamen Lawang/Pintu Bledeg dilihat dari contour, Terdiri dari beberapa bagian yaitu motif tumpal, mahkota, kepala naga, jambangan, bunga tumbuhan, lung dan camara. Dalam ornamen tersebut terdapat beberapa motif yang berasal dari Majapahit, yaitu pada motif tumpal dan pemakaian lambang Surya Majapahit yang distilir menjadi mata naga. Susunan lung (kalpalata) dan jambangan mempunyai kesamaan dengan hasil seni ornamen Jawa-Budha abad VIII. Warna yang digunakan emas, merah, hijau, dan putih. 
Selain itu, terdapat kata 'Gundala' yang terkait dengan tarian topeng yang berasal dari Tanah Karo, Sumatera Utara. Sementara, Kata 'Gundala-gundala' dalam bahasa Karo sendiri berarti 'Topeng'. Tarian ini dilakukan untuk memanggil hujan atau dalam bahasa Karo, 'Ndilo Wari Udan'.
Budayawan Sumatera Utara, Teradim Sitepu mengungkapkan bahwa tarian Gundala-gundala dilaksanakan dalam sebuah ritual acara bernama Erdogal Dogal yang dulu sering dilaksanakan di Tanah Karo. Ritual ini dilakukan ketika terjadi kekeringan atau kemarau berkepanjangan di Karo.
Dalam menarikan tarian topeng Gundala-Gundala khas Karo, tidak ada batasan penari. Dalam penjelasan Taridem, "dulu orang-orang bebas untuk menarikan tarian tersebut".
"Kalau untuk jumlah orangnya bebas. Semua masyarakat terlibat dalam acara itu karena semua orang butuh. Mereka menari dengan mengelilingi kampung. Jadi siapa yang tidak ikut dalam acara itu kita datangi kerumahnya," tutur Taridem.
Setiap upacara atau ritual memiliki tradisi, begitu juga dalam ritual tarian topeng Gundala-gundala ini. Taridem menuturkan bahwa dalam menarikan tarian ritual ini, ada tradisi menyiram air se-kampung dengan menggunakan tembakan dari bambu.
"Jadi air itu dipercikkan dengan menggunakan alat dari bambu seperti tembakan air. Semua masyarakat kampung itu dilibatkan. Kita lakukan dengan mengelilingi kampung hingga akhirnya sampai ke sungai. Di sungai itu masyarakat saling siram air", ungkap Taridem.
Dalam ritual ini, para penari menggunakan sebuah topeng yang diyakini memiliki unsur-unsur magis di dalamnya. Hal ini disampaikan oleh Winarto, Seniman yang mendalami kesenian Gundala-gundala ini.
"Topeng ini sebagai media, jadi ada transisi dan biasanya tetua kampung yang menarikan. Konon kabarnya pasti datang hujan walau tidak deras. Sampai detik ini jika ditarikan, dipercaya akan turun hujan. Topeng ini sangat unik karena konon bahannya itu kayu yang disambar petir. Disitulah magisnya. Hubungan petir, hujan, alam Serta bagaimana masyarakat karo ini berinteraksi, berdialog, dan hidup di alam," terang Winarto.
Dari penjelasan diatas, terdapat 3 pengertian yang berkaitan dengan 'Gundala', yaitu berkaitan dengan 'Perhiasan', 'Petir', dan 'Topeng'.
Penulis berusaha dengan berbagai pendekatan untuk menggali pemikiran Sang Mpu dalam menciptakan penamaan pamor keris Rojogundolo ini.
Jika merujuk pada pengertian 'Perhiasan' dalam bahasa Sansekerta, tentunya termasuk cincin yang merupakan simbol kesetiaan serta anting(cuping) yang merupakan simbol motivasi, akan tetapi penulis masih ragu, karena belum menemukan korelasi yang jelas antara perhiasan dengan gambaran pamor Rojogundolo pada umumnya.
Jika diartikan dengan 'Petir', pamor Rojogundolo memiliki makna Wahyu dan juga pengendalian hawa nafsu. Dikatakan Wahyu, karena banyak orang meyakini bahwa pamor ini merupakan Pamor Tiban, yang proses nya tiba-tiba ada saat pembuatan nya, seperti Wahyu dari langit. Sedangkan berdasarkan gambaran nya 'Petir'itu sendiri bermakna pengendalian hawa nafsu. Akan tetapi jika dihubungkan dengan gambaran pamor, juga tidak ada keterkaitan.
Selain itu, jika Pamor Rojogundolo merujuk pada pengertian harfiah 'Raja Topeng', secara makna filosofi, menggambarkan aspek kehidupan yang sangat luas, mencakup kepribadian, cinta, angkara murka, kepemimpinan, serta perjalanan hidup manusia dari lahir hingga dewasa.
Di Jawa topeng, dikenal juga dengan 'Tapuk'(Jawa Kuno). Karakter-karakter dalam pertunjukan Topeng Jawa disebut-sebut istilah Shori (karakter pria) yang diidentikkan dengan tokoh 'Panji', Tekes untuk karakter 'Galuh Candrakirana' (karakter wanita), dan Gitada (penyanyi), untuk tokoh pembantu yaitu 'Bancak' (Soedarsono, 1984). Sampai sekarang tutup kepala Tekes (Galuh Candrakirana) tersebut menjadi ciri spesifik semua bentuk  drama tari topeng di Jawa dan Bali dengan cerita Panji sebagai episodenya. 
Jika Pamor Rojogundolo merujuk pada pengertian 'Topeng', jika dikaitkan dengan gambaran pamor memang lebih mendekati, akan tetapi, kata 'Gundala' yang merujuk pada pengertian Topeng, lebih dikenal oleh masyarakat Tanah Karo, Sumatera Utara. Apa hubungannya masyarakat sana, dengan Mpu di Jawa...?




---------------------------------------------
Ditulis dan disadur
Oleh: Bhre Polo
Sumber; 

Komentar

Postingan Populer